Minggu, 31 Oktober 2010

Cara Mengukur Suhu Udara Dengan Suara Jangkrik


Untuk mengukur suhu udara, biasanya orang akan menggunakan termometer. Jika tinggal di pedesaan atau tempat sepi, coba lakukan dengan mendengarkan suara jangkrik. Krik.. Krik..
Suara jangkrik tercipta dari gesekan antara sayap dengan beberapa bagian tubuh lainnya. Suaranya sangat khas dan terdengar jelas pada lingkungan yang tidak terlalu bising.

Tidak semua jangkrik bisa mengeluarkan bunyi mengekrik, hanya jangkrik jantan yang bisa melakukannya. Suara itu ibarat sebuah lagu merdu, yang dinyanyikan untuk menarik perhatian jangkrik betina.

Selain enak untuk didengar, suara jangkrik yang ritmis tersebut ternyata juga bisa digunakan untuk memperkirakan suhu di luar ruangan. Semakin sering suara jangkrik terdengar, semakin panas suhu lingkungan pada saat itu.

Dikutip dari Snopes, Rabu (21/7/2010), eksperimen untuk membuktikan hal ini telah dimulai pada tahun 1897 oleh ahli fisika asal Amerika, Amos Dolbear. Teorinya tentang termometer jangkrik tersebut kemudian dikenal dengan Hukum Dolbear.

Bertahun-tahun semenjak penemuan tersebut, rumus tentang hubungan suara jangkrik dengan suhu udara terus berkembang. Namun di antara berbagai rumus yang ada, yang paling sering digunakan adalah sebagai berikut:
Untuk memperkirakan suhu lingkungan dalam Fahrenheit, hitung jumlah kerikan dalam 14 detik lalu tambahkan 40. (T = n + 40) contoh: 30 kerikan + 40 = 70 derajat Fahrenheit

Untuk memperkirakan suhu lingkungan dalam Celcius, hitung jumlah kerikan dalam 25 detik, dibagi 3 lalu ditambah 4. (T = (n/3) + 4) contoh: (48 kerikan / 3) + 4 = 20 derajat Celcius

Rumus di atas dibuktikan oleh Dr Peggy LeMone, ilmuwan The Globe Program dalam eksperimen pada tahun 2007 yang didanai oleh NASA. Dalam laporannya ia menyimpulkan bahwa rumus tersebut sangat mendekati suhu sebenarnya, yang diukur dengan termometer.

Namun Dr Peggy memberi catatan, rumus ini sebaiknya digunakan pada suhu di atas 55 derajat Fahrenheit (12,78 derajat Celcius). Sebab jika terlalu dingin, biasanya jangkrik-jangkrik jantan tidak bergairah untuk memanggil betina.

source: detikhealth

Perilaku Aneh Matahari Bingungkan Ilmuwan

Temperatur dan alur matahari menurut siklus yang cukup bisa diprediksi. Namun baru-baru ini, bintang terdekat dengan bumi ini telah bertingkah. 
Matahari secara teratur berinteraksi dengan bumi sehingga penting bagi para ahli fisika matahari untuk terus memahami aktivitas matahari. Periode badai matahari dapat mengganggu keamanan satelit dan jaringan listrik. 

Tidak hanya itu, astronot dapat terkena dampak dari semburan radiasi akibat badai matahari, oleh karena itu, para ahli harus mendapatkan prediksi lengkap soal ini.

“Kami sedang mengamati sesuatu yang tidak biasa dari apa yang kami lihat selama 100 tahun ini,” kata David Hathaway dari Marshall Space Flight Center, NASA, di Huntsville, Alaska. 

Dalam sebuah konferensi, 4 ahli fisika matahari menampilkan 4 metode berbeda untuk mengukur dan memahami siklus matahari.

Bintik matahari merupakan area konsentrasi magnetis yang muncul seperti bintik hitam di permukaan matahari. Alur aktivitas magnetis matahari sangat berkaitan dengan bintik matahari yang membentuk siklus matahari.

Secara umum, siklus terakhir sekitar 11 tahun dan membutuhkan 5,5 tahun untuk bergerak dari siklum minimum matahari periode di mana hanya terdapat sedikit bintik matahari. Selanjutnya bintik terus bertambah maksimum. 

“Siklus terbaru merupakan kondisi minimum yang tidak biasa dari jumlah tertinggi tanpa bintik matahari yang diamati peneliti sejak 1913,” ujar Hathaway. 

Hathaway dan tim peneliti melakukan pengukuran yang disebut meridional flow di mana sirkulasi materi bintang dari kutub matahari berputar di sekitaran kutub tersebut. Alur ini sering berdampak pada kekuatan siklus.

Ilmuwan menjelaskan perubahan dalam struktur alur ini serta level aktivitas geomagnetis berkaitan dengan frekuensi minimum dan maksimum dari siklus matahari.

Dalam pendekatan yang berbeda, Sushanta Tripathy dari National Solar Observatory menggunakan frekuensi dari osilasi akustik untuk melihat ciri dari perubahan siklus aktivitas matahari.

Tripathy menemukan bahwa perubahan frekuensi akustik, di sebagian besar tempat berkaitan dengan aktivitas matahari. Namun selama pergerakan minimum, ia menyadari bahwa frekuensi gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah matahari menyebabkan ini keluar dari jalur aktivitas matahari.

Dua bentuk gempa telah terdeteksi menggunakan osilasiakustik yang belum pernah dilihat pada siklus sebelumnya, ujar Tripathy yang memimpin penelitian perpanjanganan minimum antara siklus 23 dan 24 yang tidak biasa.

Frank Hill yang juga berasal dari National Solar Observatory melakukan pendekatan yang berbeda dengan memprediksi siklus bintik matahari berdasarkan fenomena di matahari yang berkaitan dengan arus pancaran di matahari.

Aliran timur-barat di permukaan matahari pertama kali ditemukan pada 1980 dan dikenal sebagai torsional oscillation. Arus pancaran ini hadir di kedalaman setidaknya 105 ribu kilometer di bawah permukaan matahari. Dan Hill bersama tim penelitinya mampu menjelaskan perilaku ini di kedalaman 966 kilometer.

Ini menunjukkan bahwa aliran muncul dengan baik sebelum level dari aktivitas matahari meningkat. Ini mendorong peneliti menyimpulkan adanya hubungan beberapa mekanisme yang memicu kemunculan sebelum aktivitas onset.

Sementara pengamatan atas arus pancaran matahari ini dapat berguna untuk memprediksi waktu siklus matahari, namun dibutuhkan data yang lebih lengkap untuk memastikan akurasi metode ini.

Di pendekatan lain, Julia Saba dari SP System dan Goddard Space Flight Center, NASA, di Greenbelt, menggunakan X-Ray dan indikator kekuatan lahan magnetis sebagai cara memprediksi waktu penanda bagi siklus matahari ini.

Saba menggunakan pemetaan magnetis dari matahari yang disebut synoptic charts untuk mengamati siklus matahari ke 21 hingga 23 dan 24. Dengan mengevaluasi kecendrungan dalam aktivitas X-Ray, Saba mampu memprediksi kejadian sekitar 18 bulan mendatang dan akan lebih akurat setidaknya 2 bulan.

“Pada bulan Mei 2010, kita melihat siklus 24 secara jelas di bawah jalur, meskipun saat ini cukup sunyi di wilayah selatan pada umumnya,” ujar Saba.

Metode penentuan siklus lebih awal ini dapat berguna untuk membandingkan fase berbeda dari aktivitas matahari karena ini dapat diamati dalam waktu yang berdekatan, jelas Saba.

Penyakit Vampire, Tersiksa Jika Terkena Sinar Matahari

Dunia medis, lebih tepatnya kedokteran kulit, mengenal satu penyakit yang cukup unik. Namanya xeroderma pigmentosum (XP). Penyakit ini membuat penderitanya sangat sensitif terhadap sinar ultraviolet. Sedikit saja kena sinar Matahari, kulitnya bisa rusak. Maka penderitanya tak boleh keluar siang hari. Kalau mau keluar rumah, harus malam hari. Mirip vampir tapi tidak mengisap darah. 

Di Indonesia, kasus penyakit ini masih jarang dijumpai. Ada beberapa laporan tapi jumlahnya tidak banyak. Di Amerika Serikat, angka kejadian penyakit ini hanya sepersejuta dari populasi. Dengan kata lain, dari satu juta orang, hanya ada satu penderita XP. Persentasenya kecil sekali. Jika angka kejadian di negara kita dianggap sama, maka di seluruh penjuru Indonesia hanya ada sekitar 200-an penderita kelainan kulit ini.

Penyakit ini berupa kelainan pada DNA (cetak biru) sel kulit. Pada orang normal, DNA ini bertugas memperbaiki sel-sel yang rusak. Tapi pada penderita XP, DNA ini abnormal sehingga tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Ia tidak bisa melindungi kulit dari sinar ultraviolet. Akibatnya, kulit menjadi sangat sensitif terhadap sinar Matahari yang memang kaya UV.

Jika terkena sinar Matahari, sel-sel kulit akan rusak. Freckles (bercak-bercak hitam) akan muncul di bagian-bagian kulit yang terbuka. Pola penyebaran bercak ini khas, hanya muncul di bagian kulit yang tidak tertutup oleh pakaian. Misalnya, wajah, leher, lengan, atau tungkai. Di bagian yang terlindung dari sinar Matahari (misalnya di dada dan perut), kulit tidak mengalami masalah apa-apa.

Bercak-bercak hitam ini memang tidak terasa gatal atau sakit. Tapi jika kulit terus-menerus dibiarkan terpapar sinar Matahari, masalahnya bisa menjadi serius. Penyakit bisa berkembang menjadi kanker kulit. 

Akibat pernikahan sekerabat
Karena gangguan XP terjadi pada cetak biru sel, penyakit ini bersifat genetik. Tidak menular, melainkan menurun dari orangtua kepada anak. Namun, tidak berarti penderita XP pasti orangtuanya juga menderita XP. Tidak.

Gen XP bersifat resesif, tidak dominan, sehingga orang yang membawa gen ini tidak selalu sakit. Bisa saja kulitnya sehat walafiat. Akan tetapi jika ia menikah dengan orang yang juga sama-sama membawa gen XP, anaknya punya kemungkinan menderita penyakit ini. Itulah sebabnya, angka kejadian penyakit ini umumnya lebih tinggi terjadi di masyarakat-masyarakat yang masih lazim melakukan pernikahan sesama kerabat dekat. Misalnya di Jepang dan negara-negara Timur Tengah.

Dua orang yang masih kerabat dekat, misalnya masih sepupu satu sama lain, keduanya mungkin membawa gen yang sama. Jika keduanya sama-sama membawa gen resesif XP, lalu menikah, maka masing-masing akan menyumbang satu gen XP kepada anaknya. Itu sebabnya, anak bisa menderita XP meskipun kedua orangtuanya sehat-sehat saja.

"Dua pasien yang pernah saya tangani juga begitu. Kedua orangtua mereka masih sepupu satu sama lain," kata Dr. dr. Aida S.D. Suriadiredja, Sp.KK, ahli kulit dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Selama praktik di RS Kanker Dharmais, Aida sudah menangani tiga pasien penderita penyakit ini. Mereka dirujuk ke Aida saat sudah dalam fase kanker kulit. Jadi, mereka ditangani bukan karena XP-nya, tapi karena kankernya. 

Menyebar ke mana-mana
Karena XP merupakan penyakit bawaan, penderita sudah mengidap penyakit ini sejak lahir. Namun, pada tahun pertama, bayi dengan kelainan XP bisa saja belum menunjukkan gejala sakit. Biasanya penyakit ini mulai terdeteksi pada saat bayi berusia 1 - 2 tahun. Pada usia ini, kulit bayi mulai menunjukkan bercak-bercak hitam jika terkena sinar Matahari.

Jika deteksinya telat, gangguan XP bisa berkembang lebih parah. Penyakit ini bisa menyebar ke mana-mana. Salah satu komplikasi yang paling sering adalah kanker kulit. Kanker kulit pada penderita XP biasanya lebih parah daripada penderita non-XP.

Menurut penuturan Aida, pasien pertama yang ia tangani datang kepadanya dalam keadaan telat. Orangtuanya baru sadar bahwa anaknya menderita penyakit serius setelah ia berumur tujuh tahun. Pada saat itu, XP sudah berkembang menjadi kanker kulit. Dua jenis kanker kulit sekaligus.

Seperti kita tahu, kanker kulit jenisnya bermacam-macam. Ada kanker kulit basal, skuamosa, dan melanoma. Pada penderita non-XP, jenis kanker yang menyerang biasanya hanya satu macam. Nah, pada penderita XP, ketiga jenis kanker kulit itu bisa mengeroyok secara beramai-ramai. Kanker kulitnya multipel. Pada usia balita saja, risiko kanker kulit seorang penderita XP sama dengan risiko seorang petani atau pelaut yang sudah puluhan tahun terpanggang Matahari setiap hari.

Selain menyerang kulit luar, kanker pada pasien XP juga bisa menyerang rongga mulut meskipun rongga mulut tidak terkena sinar Matahari. Bahkan, bisa juga menyerang otak dan paru-paru. XP juga bisa menyerang mata dan saraf. Pada mata, gangguan XP bisa menyebabkan pasien menderita fotofobia. Matanya tidak kuat terkena cahaya karena memang sangat sensitif. Bukan hanya itu, gangguan XP juga menyebabkan radang di mata. Pada otak, kelainan XP juga bisa menyebabkan penderita mengalami keterlambatan mental.

Pendek kata, meskipun urusannya kelihatan sepele, penyakit XP bisa menimbulkan masalah lain yang lebih gawat. Walaupun hanya masalah kulit, XP bisa menjalar ke mana-mana, ke berbagai organ lain. 

Pakai baju "astronaut"
Meskipun bisa ganas dan menjalar ke mana-mana, penyakit XP-nya sendiri (bukan kankernya) tidak terlalu sulit dikendalikan. Pantangannya hanya sinar Matahari. Ini yang seratus persen harus dihindari.

Pada orang sehat, sinar Matahari yang sebaiknya dihindari hanya pada pukul 10.00 - 15.00. Sebelum pukul 09.00 sinar Matahari malah bermanfaat membantu pembentukan vitamin D di dalam tubuh. Akan tetapi, pada penderita XP, sinar Matahari pukul berapa pun harus dihindari. Tak bisa ditawar sama sekali kalau pasien ingin sehat. Soalnya, paparan UV dalam dosis sangat kecil saja sudah bisa membuat kulitnya bereaksi.

Hingga sekarang penyakit ini belum ada obatnya. Satu-satunya penangkal adalah mencegah kekambuhannya dengan cara menghindari sinar Matahari. "Jendela dibiarkan terbuka seperti ini saja enggak boleh," kata Aida sambil menunjuk jendela di ruang kerjanya yang terbuka sebagian.

Kondisi ini persis seperti yang digambarkan di dalam film thriller The Others, yang dibintangi oleh Nicole Kidman. Di film yang berlatar masa Perang Dunia kedua itu, Grace Stewart (Nicole Kidman) punya dua orang anak yang menderita XP. Keduanya sama sekali tidak pernah keluar rumah. Semua jendela selalu dalam keadaan tertutup dengan tirai yang juga tertutup rapat untuk menghalangi sinar Matahari.

Karena harus terbebas dari sinar Matahari, pasien XP sama sekali tidak dianjurkan keluar rumah di siang hari. Kalaupun terpaksa keluar, ia harus memakai pakaian khusus mirip pakaian astronaut yang menutupi semua bagian tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Semua harus tertutup rapat pat! Termasuk matanya. Untuk mencegah paparan sinar Matahari ke daerah mata, pasien harus mengenakan kacamata yang bisa menyaring sinar UV.

Jika berada terus-menerus di dalam rumah membuat pasien tertekan, ia boleh saja keluar rumah. Syaratnya, harus malam hari. Di malam hari itu, penderita XP bebas melakukan aktivitas sebagai orang sehat biasa. Begitu fajar hendak muncul, ia harus segera kembali ke "sarangnya" lagi. Seperti kuntilanak yang kehilangan kemampuan magisnya menjelang pagi.

Kondisi ini juga sama persis seperti yang digambarkan di film serial drama Jepang, Taiyou no Uta, yang arti harfiahnya kira-kira Lagu Buat Matahari. Di dalam film itu, Amane Kaoru, cewek tokoh utamanya, menderita XP. Di siang hari ia selalu berada di dalam rumah. Di malam hari, ia keluar menghibur diri, menyanyi. Dengan keluar malam itulah, Kaoru punya kehidupan seperti orang kebanyakan. Di malam hari pula, ia bertemu cowok yang kemudian menjadi pasangan cintanya. Jadi, meskipun tidak boleh keluar rumah siang hari, penderita XP tetap bisa punya kehidupan di malam hari seperti orang biasa.

Cara pencegahan ini harus dilakukan seumur hidup. Selama hidupnya tidak terpapar sinar Matahari, penderita XP bisa meminimalkan risiko kanker kulit hingga sekecil-kecilnya. Sepanjang tidak ada penyulit-penyulit lain, penderita XP bisa saja punya kualitas hidup yang baik seperti orang normal kebanyakan.

Jika penderita sudah telanjur menderita kanker kulit, tak ada pilihan lain, kankernya harus segera disembuhkan. Lalu ia harus menjalani pola hidup "seperti vampir". Ya, vampir yang tidak memburu darah.

source: http://www.artikelpintar.com/2010/08/vampir-yang-tidak-suka-darah.html