Jumat, 11 Februari 2011

Pielonefritis pada Kehamilan



Gamma-Ray;  http://flucard.blogspot.com
Pielonefritis akut merupakan indikasi rawat inap ante partum (sebelum melahirkan) yang paling sering dijumpai. Penyakit ini juga merupakan komplikasi pada 1-2% dari semua kehamilan. Bakteriuria asimtomatik (ASB) ditentukan dari kultur urin mid stream dengan jumlah isolat lebih dari 100.000 cfu (colony forming unit) uropatogen. Perempuan dengan bakteriuria asimtomatik berisiko 20-30 kali untuk terjadinya pielonefritis dalam kehamilan. Uropatogen yang sering dijumpai yaitu E. coli (70-85% dari kultur), dan yang lainnya yaitu Klebsiella, Enterobacter, dan Proteus spp.

Terapi ASB dalam kehamilan menurunkan risiko terjadinya pielonefritis dari 20-35% menjadi 1-4%. Pielonefritis dalam kehamilan sering terjadi pada trimester kedua dan ketiga sementara pada trimester pertama hanya 10-20%. Pielonefritis juga dapat terjadi setelah melahirkan (post partum). Terapi dengan antimikroba pada ASB dapat memperbaiki outcome pada fetal yaitu menurunnya bayi dengan berat lahir rendah dan prematur.

IDSA merekomendasikan pemberian terapi antimikroba selama 3-7 hari pada perempuan yang hamil dengan ASB. Sementara review sistematik dari Cochrane tidak menemukan evidence yang cukup untuk menentukan apakah regimen dosis tunggal sama efektifnya dengan terapi yang durasinya lebih lama.

Patogenesis ASB dan faktor risiko untuk berkembangnya infeksi traktus urinarius simtomatik termasuk pielonefritis belum diketahui secara pasti. Terdapat hal-hal yang saling mempengaruhi antara lain faktor virulensi uropatogen (seperti E. coli dan P. mirabilis) dan mekanisme pertahanan tubuh. Faktor yang meningkatkan melekatnya E. coli terhadap sel uroepitelial sehingga melindungi bakteri dari lavage urinarius dan kemudian bermultiplikasi serta menginvasi jaringan renal adalah produksi adhesin dan haemolysin. Faktor dari P. mirabilis adalah produksi fimbriae dan urease.

Komplikasi pielonefritis dalam kehamilan adalah anemia (25%) dan sekitar 15-20% perempuan dengan pielonefritis akan mengalami bakteremia. Bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal dan kemudian menimbulkan respon kaskade sitokin, histamin, dan bradikinin. Hal tersebut berakibat rusaknya endotel kapiler, hilangnya resistensi vaskular, dan perubahan cardiac output sehingga timbul komplikasi syok septik, koagulasi intravaskular diseminata, insufisiensi pernapasan atau ARDS (acute respiratory distress syndrome).
Pielonefritis rekuren dapat terjadi pada 20% perempuan sebelum melahirkan. Risiko persalinan prematur terkait dengan pielonefritis dalam kehamilan masih sulit diperkirakan.

Regimen antibakteri yang optimal untuk terapi pielonefritis dalam kehamilan adalah yang:
1.Terbukti efektif dalam uji klinik yang dilakukan secara prospektif, acak, dan buta ganda.
2.Memiliki aktivitas terhadap uropatogen pada infeksi traktus urinarius bagian atas.
3.Kadarnya tetap dapat dipertahankan dalam serum dan jaringan selama terapi.
4.Tidak terkait dengan terjadinya resistensi.
5.Tidak mahal.
6.Dapat ditoleransi dengan baik.
7.Aman untuk fetus.

Review Cochrane Database menemukan bahwa antibakteri yang diteliti ternyata efektif dan dapat menurunkan komplikasi seperti demam yang lebih lama dan persalinan prematur.

Secara teori, perempuan dengan pielonefritis pada kehamilan perlu dirawat inap di rumah sakit terkait dengan komplikasi serius yaitu insufisiensi pernapasan, syok septik, persalinan prematur, rekuren dengan kemungkinan terjadinya kerusakan renal permanen.

Terapi yang diberikan adalah antibiotik intravenous (rawat inap) yang biasanya dilanjutkan sampai pasien bebas demam 48 jam dan gejala membaik. Kemudian diteruskan dengan terapi oral selama 10-14 hari. Setelah terapi selesai, dilakukan lagi kultur urin. Rawat inap ini lebih direkomendasikan pada perempuan hamil dengan usia gestasi di atas 24 minggu.

http://www.flucard.blogspot.com

Tidak ada komentar: