Cewek-cewek seksi, mengenakan hot pants, dance “energik”, dan lagu-lagu cinta. Cowok-cowok bertampang cuek (disebut cool), tarian (yang bagi perempuan) flirting, lagu-lagu pembakar semangat. Dari SNSD hingga SUJU, Korea Selatan sukses mengekspor ikon musik mereka ke seluruh Asia, termasuk Indonesia. Negeri kita, yang hobi menciptakan barang bajakan, tiba-tiba pula dipenuhi dengan boyband(s) dan girlband(s) berkualitas (jika ada yang menyebut rendah sekalipun, mereka toh memiliki kualitas).
Dari Hot Pants Hingga Celana Senam
Era boyband pun kembali menghujani negeri ini, dengan intensitas yang lebih banyak. Dahulu, ada pengekor Backstreet Boys, N’Sync, hingga Westlife dari “penjajah” Barat. Kini, warna-warna meriah (yang bagi generasi tua norak) hingga celana senam sebagai “imitasi kurang sempurna” girlband Korea menghiasi televisi. Usia remaja (kalau tidak bisa dibilang terlalu belia) juga bisa menunjukkan betapa dunia “musik” kita (luar biasa) terpengaruh kalau tidak bisa dikatakan terhipnotis mentah-mentah. Kalau di Jepang ada AKB48 yang anggotanya luar biasa banyaknya (terdiri dari tim A, K, B, dan 4, plus beberapa trainee) dan rata-rata kelahiran 1993, di Indonesia ada Blink yang rata-rata anak kelas 3 SMP. Kalau ada yang tidak ngeh dengan Blink, wajar. Girlband yang wajahnya “lucu-lucu” ini konon baru terbentuk akhir Juli 2011 kemarin.
Fanatisme Lebay?
Image harus cantik, unik, dan seksi adalah bentukan setiap girlband (Dalam bahasa sadis: ya, mau apa lagi karena modal mereka cuma itu doang). Entah kebetulan atau tidak, penggemar mereka biasanya dari kalangan remaja putri yang hebatnya senantiasa memiliki ekspresi luar biasa (remaja lelaki mungkin melihat hal lain; atau malu mengakui sebagai penggemar; atau tidak terdeteksi). Kita akan dengan mudah melihat gesekan-gesekan remaja putri atas idola mereka.
Misalnya, ketika 7Icons yang terkenal lewat lagu Playboy yang gak kuwat itu disebut kalah cantik dari Cherry Belle, para penggemarnya bisa sewot berlebihan; sesuatu yang mungkin hampir setara ketika agama para penggemar tersebut dilecehkan. Kasus yang sama berlaku ketika boyband yang membuat cenat-cenut, SM*SH, ditulis SEMES dalam sebuah forum. Bahkan hanya karena masalah usil mengganti nama tersebut, sudah dikategorikan sebagai penghinaan. Pokoknya, SM*SH sudah membuat SM*SHBlast selalu berkata “I Heart You”-lah.
Zaman Singkatan
Susilo Bambang Yudhoyono mungkin akan bangga sekali karena singkatan namanya, SBY, kini bisa mengalahkan singkatan kota Surabaya (SBY). Seiring dengan singkatan nama itu pula, zaman berubah. Indonesia penuh singkatan. Tokoh-tokoh politik lainnya ikut dilabeli hal sama. JK (Jusuf Kalla), HNW (Hidayat Nur Wahid), , SB (Sutrisno Bachir), SDA (Surya Darma Ali), dan lain-lain.
Sementara itu, nun jauh di tanah Korea Selatan, nama-nama musisi pun disingkat. Girl’s Generation yang bernama korea Sonyeo Sidae, Sh?jo Jidai disingkat menjadi SNSD. Nama boyband U-Kiss berasal dari kata ‘Ubiquitos Korean Internasional Super Star”. Ada juga girl band MBLAQ (Music Boys Live in Absolute Quality), 2ne1 (21 New Evolution), dan seterusnya.
Entah terpengaruh yang mana, boyband dan girlband negeri kita pun menyingkat nama. Misalnya, boyband XO IX yang nama aslinya “eXtra-Ordinary XI” karena memiliki sembilan personel. Ada pula yang bernama NSG Star, singkatan dari “Nutyas Surya Gumilang”, musisi Indonesia yang pernah merantau ke London. Ada juga S9B, Super Nine Boys.
Diposisi girlbands, ada nama SG, Super-Girlies. Kemudian, meskipun tidak dikategorikan girlband, ada duo Yangseku. Mungkin orang yang menyukai K-Pop dan tidak bisa berbahasa Korea, nama Yangseku sangat keKorea-Koreaan. Namun, bisa jadi orang itu kecewa karena Yangseku artinya “Yang Selalu Kusayang”. Duo ini adalah adik Pasha Ungu.
Pengekor Abadi?
Musik dianggap “bahasa” manusia paling universal. Tidak perlu menerjemahkan bahasa liriknya sekalipun, kita sering dibuat goyang kepala ketika mendengar lagu yang upbeat dan ikut tersentuh mendengar balada. Namun, ketika musik dimasukkan ke dalam industri, kita melihat musik tidak hanya sebatas lagu, tetapi juga kemasannya.
Kemasan musik K-Pop dengan segala keunikannya barangkali cocok di negara Asia Timur, yang remajanya hidup berdampingan dengan komik-komik yang serba fantasi; yang anak mudanya memang membentuk diri dengan karakter ceria, penuh semangat, dan kadang-kadang terlihat “bodoh” bagi perempuan adalah hal yang sah (“bodoh” dalam hal ini tentu bukanlah bodoh dalam kerangka berpikir orang Indonesia). Namun, cocokkah dimasukkan (secara paksa) di negara kita melalui boybands dan girlbands ala Korea?
Ada yang berkata, “Orang Amerika bertahan dengan cara hidup Amerika”, orang Indonesia pun semestinya demikian. Kalau tidak, percuma memakai batik dan berteriak “Garuda di dadaku”. Sebagus apa pun suara dan tarian boyband dan girlband Indonesia, sepertinya kita masih menjadi ekor yang bergerak kemana pun sang pemilik ekor pergi. Padahal, yang namanya ekor mungkin saja berkhayal ia adalah kepala: namun seumur hidup ia tidak akan pernah menjadi kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar