Borobudur dengan stupa induk sebagai puncak candi di tengah kabut pagi difoto dari Puntuk Situmbu, Dusun Kurahan, Desa Karang Rejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur dibangun sekitar abad VIII pada masa wangsa Syailendra berkuasa. Tahun 1991 Candi Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.
Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.
Penelitian selama 2,5 tahun yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung, menunjukkan, stupa utama candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).
Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6.
Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8, dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.
"Jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa)," kata Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang di Jakarta.
Tim beranggotakan satu dosen dan empat mahasiswa Astronomi ITB, satu mahasiswa Matematika ITB, dan seorang peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Temuan mereka dimuat dalam prosiding 7 International Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010.
Source : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar