Rayap sering dituding sebagai perusak bangunan. Padahal, tidak selamanya demikian. Spesies rayap Macrotermes sp, misalnya, memiliki keahlian unik dalam membuat bangunan rumah dengan kecanggihan teknologi yang mencengangkan manusia.
Rumah rayap atau musamus, ada juga yang menyebutnya bomi atau rai, hanya bisa ditemukan di Taman Nasional (TN) Wasur, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Selain bangunannya kuat dan tahan gempa, rumah mereka memiliki kecanggihan ventilasi yang bisa mempertahankan suhu hangat secara stabil dan tak terpengaruh cuaca luar. Dengan memaksimalkan desain ruangan, lorong-lorong, cerobong, dan memanfaatkan angin untuk menciptakan tekanan, mereka menerapkan rahasia alam yang baru terungkap sebagian saja oleh para peneliti.
Hal lain yang menakjubkan, di dalam rumah rayap yang diperkirakan berisi jutaan anggota koloni itu, bekerja sebuah sistem yang bisa menghidupi koloni rayap hingga puluhan tahun. Publikasi NM Collins dalam Journal of Animal Ecology, Februari 1981, menyebutkan, rumah rayap Macrotermes sp yang masih hidup dan berpenghuni mampu bertahan antara 15-20 tahun.
Kontrol utama yang dikeluarkan oleh sang ratu rayap menggunakan teknologi feromon yang dimilikinya, kedisiplinan interaksi rayap pekerja, rayap prajurit, dan rayap reproduksi menarik perhatian banyak pihak. Rayap-rayap memiliki kemampuan homeostasis, yaitu ketahanan dalam mekanisme pengaturan lingkungan agar suhu dan kelembapan ruangan dalam rumah mereka stabil. Homeostasis adalah salah satu kata kunci penting dalam biologi yang sulit ditiru teknologi manusia.
Karena itu, beberapa peneliti tergoda menyebut rumah rayap dan koloninya sebagai satu kesatuan organisme yang disebut supraorganisme sosial, gabungan dari fungsi unit fisiologi dan unit sosial, seperti diungkapkan Alfred E Emerson dalam publikasinya di jurnal Ecological Society of America, April 1956. Ia dianggap satu kesatuan organisme yang memiliki teknologi mandiri (self-regulation) untuk bertahan hidup dengan berbagai kondisi cuaca.
Tak heran jika para peneliti dari berbagai belahan dunia tertarik mengadopsi teknologi rayap untuk mewujudkan bangunan yang mandiri secara sistem, teknologi ventilasi yang canggih, serta adanya sistem penstabil kelembapan udara yang bekerja setiap saat.
Seperti belimbing
Dari jalan trans Papua yang membelah TN Wasur, dengan mudah kita bisa menemukan konstruksi unik berwarna merah bata hingga cokelat. Menjulang hingga tiga meter dari atas tanah kering yang disesaki rumput liar di antara deretan acak pepohonan bus (sejenis Melaleuca sp). Bagian atasnya melancip, bak gedung pencakar langit.
Tak jauh dari bangunan pertama, terlihat bangunan-bangunan lainnya, menyembul dengan tinggi beragam, sekitar 1,5 meter-2,5 meter. ”Bangunan itu adalah bomi atau rumah musamus atau rayap. Orang sini ada yang menyebut rai,” ujar Syaiful Anwar, pengendali ekosistem hutan TN Wasur.
Bomi adalah rumah koloni rayap yang juga dikenal dengan nama anai-anai, semut putih, atau ranggas. Adapun jenis rayap yang membangun bomi adalah Macrotermes sp yang termasuk famili rayap tanah (Termitidae) dan dalam ordo Isoptera (rayap/laron). Banyak khalayak salah menyebut bomi sebagai rumah semut.
Arsitektur rumah rayap ini unik. Dilihat secara horizontal, bentuknya menyerupai buah belimbing yang dipotong salah satu bagian ujungnya dan diberdirikan. Terdapat tonjolan dan cerukan dengan penampang membentuk bintang bersudut tak beraturan. Inilah desain yang digunakan para rayap untuk menciptakan tekanan angin sehingga mampu dikontrol ketika melewati lorong-lorong bangunan mereka.
Diameter bomi yang sudah tua sekitar 1-2 meter. Setiap bomi punya jumlah sudut bintang yang berbeda bergantung pada kondisi lingkungan di sekitarnya, seperti letak pohon yang ada di dekatnya.
Bomi yang tingginya di bawah satu meter bentuknya belum menyerupai buah belimbing, masih seperti corong tak beraturan. Tinggi bomi bervariasi. Sejumlah bomi yang pernah terpantau Balai TN Wasur mencapai tinggi 5 meter.
Ibarat rumah tumbuh, tinggi bomi setiap waktu terus bertambah. Namun, menurut Syaiful, belum ada penelitian yang dapat menyebutkan dengan akurat berapa sentimeter tinggi bomi bertambah dalam tiap tahunnya. Diperkirakan, untuk membangun bagian bawah (fondasi) butuh waktu 1-2 tahun. Umumnya, fondasi bomi itu dibentuk setelah musim hujan selesai dan ketika tanah masih basah.
T
embok (permukaan) rumah rayap ini mengeras saat musim kemarau. Bahkan, membatu dan relatif kuat untuk dipanjat dan diduduki oleh orang dewasa seberat 70 kilogram. Pecahan bomi mati yang telah ditinggalkan koloni rayap dimanfaatkan untuk memasak sagu atau ubi dengan metode bakar batu oleh Suku Marind, suku asli di kawasan tersebut. Maklum, di Merauke memang sulit sekali mencari batu karena daratannya berupa rawa.
Kuatnya konstruksi bomi karena bahan dasarnya adalah tanah, serasah kayu, daun, akar, ranting, dan rumput yang tumbuh pada radius 200 meter dari bomi. Selanjutnya bahan tersebut dicampur air liur rayap yang berfungsi seperti semen untuk perekat. Jika sebagian bomi dibongkar, akan terlihat serasah rumput yang menyusun dinding dalam bomi.
Karena itulah persepsi rayap sebagai perusak gedung akan runtuh jika kita mengetahui bahwa rayap malah mampu membangun bangunan megah yang berukuran lebih dari tiga ratus kali ukuran tubuhnya.
Frederikus Gebze, Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind, mengatakan, bomi atau musamus memiliki nilai-nilai filosofis khusus. Bomi adalah mahakarya rayap yang dibangun dengan semangat gotong-royong dan menjadi rumah bersama yang tahan segala cuaca, hujan, kemarau, gempa, bahkan tahan terhadap kebakaran hutan.
Bangunan mewah musamus ini pun dibuat tanpa merusak lingkungan dan justru menghargai lingkungan setempat.
Sudah saatnya manusia belajar pada rayap...
Source : Kompas
Gamma-Ray ; http://flucard.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar