Oleh Wimpie Pangkahila
Presiden SBY baru- baru ini menyatakan ketidaksenangannya terhadap warga bangsa yang sering berobat ke luar negeri.
Meski memicu banyak gugatan, pernyataan ini sebenarnya bisa menjadi momentum introspektif terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Kenyataannya memang tidak hanya warga biasa yang berobat ke luar negeri. Banyak pejabat pusat dan daerah beserta keluarganya juga melakukannya. Maka, imbauan menjadi wajar, apalagi jika disertai teladan untuk berobat di negeri sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia senang berobat ke luar negeri. Pertama, tidak dapat dilakukan di Indonesia. Kedua, pelayanan kesehatan di luar negeri dianggap lebih profesional. Ketiga, gengsi.
Alasan pertama tentu kita sangat mengerti. Memang ada pelayanan kesehatan tertentu yang saat ini belum diterapkan di Indonesia, tetapi barangkali ini pelayanan yang sangat spesifik. Soal gengsi berobat di luar negeri, juga sangat personal urusannya.
Akan tetapi, kalau alasannya karena pelayanan kesehatan di Indonesia dianggap tidak profesional, apalagi biaya lebih mahal, tentu ini menjadi tanggung jawab sekaligus tantangan bagi pemerintah dan kita semua.
Secara umum, kesan masyarakat luas terhadap pelayanan kesehatan, terutama milik pemerintah, tidak memuaskan. Mutu pelayanan kesehatan bergantung pada dua faktor. Pertama, sistem dan peraturan. Kedua, sumber daya manusia.
Pembiaran
Pemerintah menjadi kunci dengan membuat peraturan yang komprehensif dan berlaku universal. Salah satu yang harus segera diperbaiki adalah sikap pemerintah terhadap iklan yang menawarkan berbagai pelayanan kesehatan yang tidak ilmiah dan tidak profesional. Misalnya, iklan klinik yang menjanjikan ”kanker sembuh dalam sekian bulan hanya dengan obat herbal”.
Ada juga iklan herbal ”HIV/ AIDS sembuh dalam 3 bulan” dan herbal ”untuk gangguan seks pria”. Ketika obat herbal untuk disfungsi seksual itu saya teliti, ternyata ada kandungan bahan kimia obat yang memang efektif mengobati itu.
Namun, sampai saat ini obat herbal itu masih beredar, demikian pula dengan bahan baku herbal dari luar negeri yang sudah dicampur bahan kimia obat. Padahal, ada peraturan pemerintah yang menyebutkan bahwa jamu atau obat herbal tidak boleh dicampur dengan bahan kimia obat. Pencampuran bisa berdampak negatif, dari menurunkan efektivitas obat sampai memperburuk kesehatan.
Demikian pula halnya dengan iklan. Jamu tidak boleh diiklankan sebagai obat karena fungsinya lebih ke suplemen kesehatan. Kenyataannya, banyak iklan yang membodohi dan merugikan masyarakat tetap beredar dan dibiarkan saja, seolah kita tidak punya peraturan.
Tidak semua yang berbau luar negeri baik. Tidak sedikit produk luar negeri dipasarkan di Indonesia karena di negara asalnya tidak laku. Saat manusia Indonesia menjadi korban bisnis liar, di mana pemerintah?
Moralitas tinggi
Mengenai sumber daya manusia, khususnya dokter dan paramedis, tentu tidak terlepas dari lembaga pendidikan. Bagaimana pemerintah memfasilitasi fakultas kedokteran agar selalu meningkatkan kualitasnya.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Ada fakultas kedokteran yang sebenarnya tidak layak disebut berkualitas, tetapi ternyata terakreditasi. Mengapa ini terjadi? Tiba-tiba saya teringat kata- kata almarhum Adam Malik, ”Semua bisa diatur.” Dapat dibayangkan bagaimana kualitas dokter yang dihasilkan.
Di sisi lain, tentu saja dokter dan paramedis dituntut punya moralitas tinggi dalam menjalankan profesinya. Apakah moralitas tenaga medik Indonesia lebih buruk dibandingkan sejawat mereka di luar negeri, saya tidak yakin.
Walaupun dokter dan paramedis kita adalah bagian dari bangsa yang sedang sakit ini, saya yakin masih sangat banyak dokter dan paramedis kita yang tetap memiliki integritas dalam melayani kesehatan masyarakat.
Selanjutnya, bagaimana meningkatkan kualitas teknis dokter dan paramedis dengan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini ataupun kemampuan komunikasinya. Tanpa upaya ini, mereka hanya akan menjadi tukang.
Keluhan pasien yang beralih berobat ke luar negeri umumnya memang masalah komunikasi. Komunikasi sebagai inti pekerjaan dokter—kepandaian nomor dua—justru belum banyak dipraktikkan. Padahal, 60 persen pasien sebenarnya hanya mengalami kelainan fungsional dan hanya 40 persen yang benar-benar sakit. Itu pun 20 persen bisa sembuh sendiri.
Berkaitan dengan biaya, percaya atau tidak, ternyata ada biaya pelayanan kesehatan tertentu di Malaysia yang lebih murah daripada di Jakarta. Ini sudah termasuk biaya transpor dan hotel selama di sana. Saya tidak mengerti, mengapa ini terjadi. Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat memilih berobat ke Malaysia saja.
Saya yakin, kalau sistem pelayanan kesehatan kita diatur secara tegas, komprehensif, dan universal, kita akan mampu bersaing atau menyamai pelayanan kesehatan di luar negeri.
Secara paralel, perbaikan pelayanan kesehatan di dalam negeri harus dibarengi dengan teladan para pemimpin untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia di negeri sendiri.
Wimpie Pangkahila Dokter Spesialis dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
sumber :