Presiden Myanmar Thein Sein, mengatakan 800 ribu penduduk Rohingya harus ditempatkan di sejumlah kamp dan dikirim (kembali) ke Bangladesh melalui perbatasan. Presiden Thein Sein menolak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah Bangladesh mengaku kewalahan dan tak mampu menerima limpahan pengungsi Rohingya di negerinya; bahasa kasarnya, menolak kedatangan etnis Rohingya dari Myanmar.
Kebijakan Myanmar itu dinilai para penggiat HAM sebagai pembersihan etnis.
Laporan Amnesty International, Juli 2012, ada tindak kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan, oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap warga Rohingya yang beragama Islam di wilayah Rakhine, perbatasan Bangladesh - Myanmar. Akibatnya 53.000 Muslim Rohingya mengungsi mencari tempat aman. Menurut data pemerintah Myanmar, kekerasan antara etnis Buddha dan Muslim di Rakhine sudah berlangsung sejak Juni lalu, Muslim Rohingya yang tewas mencapai 77 orang.
Namun, para ahli yang dikutip oleh Press TV menunjukkan bahwa korban mencapai 600 orang. Jadi, bukan ratusan ribu orang, seperti beredar melalui jejaring sosial di Indonesia.
Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwi mengatakan (dalam konferensi pers yang dihadiri Pelapor Khusus PBB Tomas Ojea Quintana), mengatakan, pemerintah Myanmar menerapkan tindakan maksimal untuk menghentikan kekerasan antar etnis di Rakhine; pertikaian yang terjadi Rakhine antara Etnis Rohingya dan etnis atau pun suku-suku setempat (asli/pribumi) Myanmar.
Wunna Maung Lwi, membantah tuduhan bahwa aparat keamanan menyiksa dan menangkapi pengungsi Muslim Rohingya. Justru, mencoba meredakan kekerasan dan konflik di wilayah Rakhine tersebut. Myanmar menolak tuduhan beberapa pihak yang mengatakan bahwa petugas menggunakan kekerasan dan penganiayaan dalam mengatasi keadaan, tuduhan tersebut bertujuan untuk mempolitisir dan mengarahkan isu di Rakhine sebagai konflik agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar