Pencegahan adalah kunci untuk memiliki kesehatan yang baik. Bahkan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Salah satu cara terbaik untuk melindungi anak-anak dan keluarga dari penyakit adalah dengan imunisasi.
Imunisasi pada dasarnya bertujuan untuk menstimulasi reaksi kekebalan tubuh tanpa menimbulkan penyakit. Beberapa penyakit infeksi seperti campak, tetanus, polio, atau hepatitis bisa dicegah dengan imunisasi. Meski tidak semua penyakit infeksi tersebut mengancam jiwa, beberapa penyakit bisa menyebabkan kecacatan.
Teknik pemberian imunisasi pada umumnya dilakukan dengan melemahkan virus atau bakteri penyebab penyakit lalu diberikan kepada seseorang dengan cara disuntik atau ditelan. Setelah bibit penyakit itu masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan terangsang untuk melawan penyakit itu dengan membentuk antibodi. Selanjutnya, antibodi itu akan terus ada di dalam tubuh orang yang telah diimunisasi untuk kemudian melawan penyakit yang mencoba menyerang.
Sejak pemakaiannya meluas pada abad ke-20, imunisasi telah mencegah jutaan kematian di dunia. Kendati begitu, masih saja banyak orang yang tidak mau diimunisasi. Salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran terhadap keamanan dan efek samping dari vaksin.
Menurut Prof dr IGN Gde Ranuh, SpA (K), kekhawatiran terhadap keamanan vaksin itu timbul akibat informasi yang salah. "Masyarakat sering kali lebih khawatir terhadap efek samping vaksin, seperti demam atau pegal-pegal, daripada penyakitnya. Padahal, komplikasi penyakit bisa menyebabkan kecacatan, bahkan kematian," paparnya dalam acara jumpa media di sela-sela acara Simposium Nasional Imunisasi ke-2 yang diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta Jumat (19/11/2010).
Efek samping imunisasi dapat disebabkan oleh faktor penyimpanan yang kurang memerhatikan sistem rantai dingin (cold chain) dan cara penyuntikan. "Di dalam vaksin juga terdapat bahan tambahan untuk mencegah kontaminasi dan mempertinggi respons kekebalan. Oleh karena itu, vaksin harus disuntikkan ke dalam otot agar tidak menimbulkan bengkak," kata Prof Dr Sri Rezeki Hadinegoro, SpA (K), Ketua Satgas Imunisasi IDAI, dalam kesempatan yang sama.
Mengenai demam ringan yang timbul setelah imunisasi, menurut Sri hal itu adalah reaksi yang normal sebagai bagian reaksi tubuh ketika membentuk kekebalan. Hal ini pun bersifat individual.
Beberapa jenis penyakit memang berhasil dieradikasi berkat imunisasi, seperti cacar atau polio. Meski demikian, menurut Sri, imunisasi masih tetap diperlukan. Meski penyakitnya sudah lenyap, kuman yang menimbulkan penyakit masih tetap ada dan bisa menyerang mereka yang tidak dilindungi dengan vaksinasi.
"Ancaman penyakit ada terus-menerus. Apalagi sekarang ini dunia sudah tanpa batas, setiap orang bisa bepergian ke mana pun. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya kontak dengan orang lain yang tanpa sadar membawa suatu penyakit," katanya.
Yang harus dicermati adalah imunisasi tidak menjamin seseorang akan terbebas 100 persen dari penyakit. Saat ini imunisasi yang diberikan berhasil merangsang tubuh membentuk antibodi hingga 99 persen. Karena itu, andaipun anak masih terkena penyakit, maka penyakitnya akan lebih ringan dan tidak membahayakan nyawanya.
Imunisasi pada dasarnya bertujuan untuk menstimulasi reaksi kekebalan tubuh tanpa menimbulkan penyakit. Beberapa penyakit infeksi seperti campak, tetanus, polio, atau hepatitis bisa dicegah dengan imunisasi. Meski tidak semua penyakit infeksi tersebut mengancam jiwa, beberapa penyakit bisa menyebabkan kecacatan.
Teknik pemberian imunisasi pada umumnya dilakukan dengan melemahkan virus atau bakteri penyebab penyakit lalu diberikan kepada seseorang dengan cara disuntik atau ditelan. Setelah bibit penyakit itu masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan terangsang untuk melawan penyakit itu dengan membentuk antibodi. Selanjutnya, antibodi itu akan terus ada di dalam tubuh orang yang telah diimunisasi untuk kemudian melawan penyakit yang mencoba menyerang.
Sejak pemakaiannya meluas pada abad ke-20, imunisasi telah mencegah jutaan kematian di dunia. Kendati begitu, masih saja banyak orang yang tidak mau diimunisasi. Salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran terhadap keamanan dan efek samping dari vaksin.
Menurut Prof dr IGN Gde Ranuh, SpA (K), kekhawatiran terhadap keamanan vaksin itu timbul akibat informasi yang salah. "Masyarakat sering kali lebih khawatir terhadap efek samping vaksin, seperti demam atau pegal-pegal, daripada penyakitnya. Padahal, komplikasi penyakit bisa menyebabkan kecacatan, bahkan kematian," paparnya dalam acara jumpa media di sela-sela acara Simposium Nasional Imunisasi ke-2 yang diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta Jumat (19/11/2010).
Efek samping imunisasi dapat disebabkan oleh faktor penyimpanan yang kurang memerhatikan sistem rantai dingin (cold chain) dan cara penyuntikan. "Di dalam vaksin juga terdapat bahan tambahan untuk mencegah kontaminasi dan mempertinggi respons kekebalan. Oleh karena itu, vaksin harus disuntikkan ke dalam otot agar tidak menimbulkan bengkak," kata Prof Dr Sri Rezeki Hadinegoro, SpA (K), Ketua Satgas Imunisasi IDAI, dalam kesempatan yang sama.
Mengenai demam ringan yang timbul setelah imunisasi, menurut Sri hal itu adalah reaksi yang normal sebagai bagian reaksi tubuh ketika membentuk kekebalan. Hal ini pun bersifat individual.
Beberapa jenis penyakit memang berhasil dieradikasi berkat imunisasi, seperti cacar atau polio. Meski demikian, menurut Sri, imunisasi masih tetap diperlukan. Meski penyakitnya sudah lenyap, kuman yang menimbulkan penyakit masih tetap ada dan bisa menyerang mereka yang tidak dilindungi dengan vaksinasi.
"Ancaman penyakit ada terus-menerus. Apalagi sekarang ini dunia sudah tanpa batas, setiap orang bisa bepergian ke mana pun. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya kontak dengan orang lain yang tanpa sadar membawa suatu penyakit," katanya.
Yang harus dicermati adalah imunisasi tidak menjamin seseorang akan terbebas 100 persen dari penyakit. Saat ini imunisasi yang diberikan berhasil merangsang tubuh membentuk antibodi hingga 99 persen. Karena itu, andaipun anak masih terkena penyakit, maka penyakitnya akan lebih ringan dan tidak membahayakan nyawanya.
Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar