Sabtu, 20 November 2010

Pahlawan Devisa Itu Terpuruk di Negeri Orang


Jakarta: Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Pribahasa ini bukan berarti tak berlaku lagi bagi para tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Memang inginnya hidup di negeri sendiri. Tapi apa boleh buat, kebutuhan hidup untuk diri maupun keluarga terus mendesak. Sementara lapangan pekerjaan di dalam negeri seperti tidak berpihak pada mereka.


Negeri jiran dan negeri-negeri petro dolar di Timur Tengah menjadi pilihan. Dengan impian mendapat kehidupan yang lebih baik, para TKI khususnya perempuan calon pembantu rumah tangga berbondong-bondong mengadu nasib di negeri orang.


Hingga dua tahun lalu, jumlah TKI di luar negeri yang tercatat secara resmi mencapai 4,3 juta orang. Yang terbanyak ada di Malaysia dan Arab Saudi. Jumlah itu pasti makin membengkak jika ditambah TKI ilegal.


Sebutan pahlawan devisa bagi mereka bukan basa-basi. Pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, kiriman

uang dari TKI mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 16 triliun. Dari tahun ke tahun jumlahnya berlipat. Dan tahun ini, kiriman mereka diperkirakan mencapai US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 63 triliun.

Sayangnya sumbangsih TKI yang sangat fantantis itu tidak diimbangin perlindungan maksimal. Dari tahun ke tahun, kisah pilu para TKI seperti tak pernah berakhir. Tahun ini saja TKI yang bernasib malang berjumlah 25 ribu orang lebih.

Sebut saja Ceriyati yang nekad kabur dari apartemen majikannya di Malaysia meski harus bergantung di tali kain agar lolos dari penganiayaan sang majikan. Atau Siti Hajar yang sekujur tubuhnya terluka akibat sering disiksa majikan.
 
Lebih tragis lagi nasib Halimah binti Kohar. Dia meninggal di kolong jembatan Kandarah, Jeddah, Arab Saudi, karena penyakit paru-parunya tak mendapat perawatan maksimal selama tinggal di kolong jembatan. Atau Susmiyati dan Siti Tarwiyah yang pulang ke Tanah Air sudah jadi mayat karena disiksa keluarga majikan di Saudi.

Sayangnya menurut catatan analis Migrant Care, ratusan kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap TKI seperti menguap ditelan waktu. Hanya kasus Nirmala Bonat yang terekam lengkap hingga proses peradilannya.
 
Menurut Migrant Care, pemerintah selalu bersikap reaktif tiap muncul kasus baru tapi tidak menuntaskan akar persoalan TKI. Kasus penyiksaan sadis Sumiati binti Salan Mustofa misalnya seperti menghentak reaksi pemerintah.
 
Padahal menurut Migrant Care akar kekerasan terhadap TKI di luar negeri dimulai dari lemahnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Jika akar persoalan tidak segera dituntaskan, wajarlah bila dari waktu ke waktu kisah pilu TKI selalu muncul. Para pahlawan devisa itu terpuruk di negeri orang

Jeddah: Konsulat Jenderal RI di Jeddah akan terus memonitor kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) Kikim Komalasari yang dibunuh majikan di Arab Saudi. Demikian diungkapkan Konsul Jenderal Zakaria Anshar lewat sambungan telepon kepada Liputan6.com di Jeddah, Sabtu (20/11).

"Saat ini polisi tengah menginvestigasi kasus ini dan menahan majikan Kimkim. Kita menunggu perkembangan kasus ini dari polisi. Semuanya sudah dilaporkan dan ditangani kepolisian Saudi. Kita akan terus memonitor kasus ini," jelas Zakaria.

Menurut Zakaria, belum ada kejelasan jenazah Kikim akan dikirim ke Indonesia atau dikubur di Arab Saudi. "Kami menunggu kabar dari keluarga di Indonesia apakah jenazah akan dikuburkan di Saudi atau di Indonesia. Kami juga tengah mengurus surat-surat Kikim." 

Seperti diberitakan sebelumnya, Kikim tewas tiga hari menjelang Iduladha di Kota Abha, Arab Saudi. Tubuh Kikim ditemukan seorang warga, 13 November silam. Sebelum dibunuh, TKW asal Cirebon, Jawa Barat ini kerap dianiaya dan diperkosa majikan.(CHR/AIS) 

Jeddah: Belum lagi kasus penyiksaan sadis terhadap Sumiati binti Salam Mustofa habis, muncul kasus baru yang lebih sadis. Kali ini, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Cianjur, Jawa Barat, dibunuh dan jasadnya dibuang ke tong sampah di Kota Abha, sekitar 750 kilometer dari Kota Jeddah, Arab Saudi, tiga hari sebelum Idul Adha. 

Menurut seorang relawan TKI di Arab Saudi, korban adalah Kikim Komalasari binti Uko Marta. Kikim tercatat memiliki paspor bernomor AN 010821. Belum diketahui perusahaan mana yang memberangkatkan Kikim ke Saudi, Juli tahun lalu.


Tubuh Kikim ditemukan seorang warga, Sabtu (13/11) lalu. Sebelum dibunuh, Kikim sering dianiaya dan diperkosa majikannya. Saat ini, jasad Kikim berada di sebuah rumah sakit di Kota Abha. Polisi di negara itu sudah menahan majikan lelaki dan perempuan Kikim.(CHR/SHA)

Jakarta: Peraturan perundang-undangan dan nota kesepahaman (MoU) yang mengantur tenaga kerja Indonesia (TKI) dinilai masih banyak kelemahan atau bermasalah. Padahal peraturan itu yang menjamin TKI.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, usai acara dialog interaktif bertajuk "Pahlawan Devisa yang Tersiksa" di Warung Daun, Jalan Cikini Raya No.6, Jakarta Pusat, Sabtu (20/11).


Anis menyatakan, undang-undang yang selama ini ada hanya sebatas permasalahan bagaimana penempatan TKI di luar negeri dan bagaimna mendirikan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). "Tidak sesuai antara regulasi dan kebutuhan," ujarnya.


Selama 1,5 tahun, lanjut Anis, pemerintah bekerja untuk merevisi MoU dengan pemerintah terkait. Seperti MoU dengan Malaysia yang sampai saat ini mengalami deadlock hanya karena Malaysia memandang Indonesia mendesak untuk melindungi TKI Indonesia sendiri, sementara di dalam negeri sendiri Indonesia belum bisa melindungi TKI.


Bukan hanya itu, DPR juga harus ikut bertanggungjawab dalam hal ini. Karena jelas, RUU PRT tahun ini Anis menilai gagal. "Harus ditanya kenapa tahun ini RUU PRT di drop prolegnas 2010? padahal kalau UU ini disahkan bisa mejadi alat bargaining untuk melakukan negoisasi dengan negara tujuan. UU itu kan harus memproteksi, harusnya UU TKI bisa mlindungi mereka dari berangkat sampai pulang lagi," tandasnya.


"Kerentanan di situ sudah ada seharusnya UU-nya bisa menjawab kerentanan itu," lanjutnya.


UU yang saat ini berlaku menurut Anis tidak bicara sama sekali soal upaya-upaya melakukan perlindungan, tahapan-tahapan di mana mereka masih ada kerentanan. "Pembantu Rumah Tangga (PRT) migran kita rentan disiksa, diperkosa, rentan tidak digaji dan sebaginya. Kapan UU ini bisa menjawab itu, seharusnya bagaimana memproteksi mereka, menjawab kerentanan mereka atau meningkatkan kontrol terhadap kerentanan tersebut," tegasnya. (MEL)
sumber : liputan6


Tidak ada komentar: